Selain menyusahkan, menyengsarakan, dan lain sebagainya yang jelas tidak mengenakkan, situasi pandemi seperti ini membuat pelaku skena musik yang tergolong rajin mengadakan event, harus memutar otak untuk berpikir sekreatif mungkin agar menemukan solusi. Contoh? Kita, mau tidak mau, dipaksa untuk merancang segala sesuatu untuk melampaui segala macam batasan tanpa melewati batas (yang sudah ditentukan pemerintah). Makin membingungkan ketika semua ide kreatif ini baru muncul di mana semua serba terbatas dan dibatasi. Ada energi dan hasrat yang harus dikonversi menjadi katakanlah sebuah konsep. Hanya menjadi konsep belaka.
Jika melihat lagi ke belakang di masa sebelum pandemi, dari satu gigs ke gigs yang lain diadakan seperti bersahut-sahutan. Di beberapa daerah, bahkan banyak gig ditemukan tiap minggunya. Penikmat musik pun dimanjakan dengan banyak suguhan musik berskala mikro dengan penampilan grup musik yang beragam, atau di beberapa kasus, hanya itu-itu saja yang tampil (walau sebenarnya hal ini sama sekali bukan masalah). Gigs yang sering dijumpai tiap weekend tersebut biasanya diadakan secara kolektif, oleh suatu komunitas, atau beberapa orang dalam lingkar pertemanan yang ingin melaksanakan pesta kecil-kecilan.
Selalu menyenangkan jika menikmati gigs seperti ini. Keintimannya begitu terasa, bahkkan jika berada di dalam mosh pit sekalipun. Seringkali, Kata “Kolektif” ini dikaitkan dengan kultur DIY (do it yourself). Kalau dilihat dalam KBBI, kata “Kolektif” berarti beramai-ramai, atau bersama-sama, namun untuk beberapa contoh kasus, gig atau event kolektif ini menutup diri dan bahkan anti kepada yang namanya sponsor dari beberapa pihak.
Kalau dikembalikan lagi ke maknanya, yaitu secara bersama-sama atau beramai-ramai, untuk mengadakan event atau gigs kolektif, apakah mesti menutup diri terhadap pihak-pihak yang di rasa “terlalu komersil”? atau apakah ada ketakutan bahwa nanti acara tersebut akan hilang kolektivitasnya? Bukannya akan lebih mudah menggarap sesuatu (termasuk gigs) dengan bantuan pihak lain (tanpa mengemis) yang punya kekuatan untuk meringankan beberapa pekerjaan? Atau boleh menggunakan standar ganda seperti bisa menggunakan sponsor asal bukan korporat dan sejenisnya?
Lagipula, sepertinya tidak ada standarisasi khusus untuk event atau gigs kolektif bukan? Baik atau tidaknya “pesta kecil-kecilan” terlaksana juga tidak bisa dilepaskan dari seberapa baik komunikasi yang dibangun dan terbangun diantara semua pihak yang terlibat. Jika komunikasi tidak berjalan lancar, maka potensi masalah berada di sana. Tidak jarang, miskomunikasi antara pelaksana event “kolektif” dan penampil terjadi karena adanya penempatan nama sponsor pada poster event. Biasanya, yang menginisiasi acara lupa memberitahu bahwa ada yang membantu kelangsungan acara seperti sponsor, atau hanya berpura-pura lupa? Kalau tidak ada “complain” dari penampil atas haknya karena mengetahui adanya sponsor, maka tidak ada yang menjadi masalah. Begitu pula sebaliknya.
Dari sini, kemungkinan besar masalah kecil yang menjadi besar itu ada. Kuncinya ada di komunikasi (sekali lagi) dan kalau perlu ada keterbukaan antara pelaksana dan penampil, jika acara tersebut memang dilaksanakan secara kolektif. Jika sebuah acara dilaksanakan secara bersama-sama, bukan kah seluruh seluk beluk acara juga milik bersama? Selain itu, juga perlu ada kepercayaan diantara satu sama lain sebagai pondasi utama gerakan kolektif dan sebagainya. Semoga saja kita tidak menjadi manusia sosial yang terbatas karena urusan kolektif-kolektif ini, dan senantiasa dijauhkan dari eksploitasi berkedok kolektif dan exposure. Amin.
Teks: Brandon Hilton