Long Way Talks: Anwar Jimpe Rachman

Makassar dengan keragaman khasnya memang sangat terkenal di mana-mana. Dari lini musiknya, banyak band bagus yang berasal dari kota ini. Begitu juga dengan literasinya. Siapa yang tak kenal perhelatan tahunan Makassar International Writers Festival? Lalu, juga ada satu sosok yang sangat dikenal di dunia literasi Makassar. Dia adalah Anwar ‘Jimpe’ Rachman. Kecintaannya terhadap bidang literasi dan seni, membuat dirinya mendirikan sebuah ruang mandiri yang bernama Tanahindie pada tahun 1999. Selain itu, bersama beberapa kawannya pada tahun 2008, dirinya mendirikan Kampung Buku, sebuah perpustakaan sekaligus ruang arsip untuk berbagai macam referensi yang berkaitan dengan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Dikenal sebagai seorang penulis, dirinya telah merilis beberapa buku seperti Hidup di Atas Patahan (Insist Press, 2012), Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Chambers Celebes, 2013), dan banyak lagi tulisan lain yang bertebaran di berbagai portal berita digital. Tidak ketinggalan, Anwar Jimpe Rachman juga merupakan salah sosok yang paling berpengaruh dalam event Makassar Biennale.

Belum lama ini, bersama beberapa rekan, Jimpe menyelesaikan Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar. Sebuah film dokumenter yang tidak hanya membahas tentang sejarah musik, melainkan menunjukkan bagaimana musik mencerminkan kemajuan sebuah peradaban di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar kala itu. Film dokumenter ini juga bekerja sama dengan Rock In Celebes dan screening perdana dilakukan saat gelaran satu dekade Rock In Celebes 2019.

Simak pembahasan kami bersama dirinya.

Bagaimana kabar literasi di Indonesia atau Makassar sekarang ini? Apakah baik-baik saja?

Ya, sangat baik-baik saja! Malah ekosistemnya makin tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang belanja buku via online atau offline, dibantu ketersediaan aplikasi hantaran dan tokobuku-tokobuku yang tersebar di banyak tempat, bahkan sampai di kabupaten dan kota�hal yang dulunya hanya ada di ibu kota provinsi. Mungkin karena makin banyak sekolah tinggi dan universitas di kota dan kabupaten; jadi peluang dan pasarnya ada. Saya juga lihat, meski hanya lewat medsos, sejak tahun lalu saya mengikuti teman-teman saya di Makassar, Parepare, dan Padang juga sedang merintis penerbitan. Saya sebagai orang yang bekerja juga di penerbitan tentu senang. Itu tanda bahwa penerbitan masih menjanjikan. Itu juga masih ngonteks dengan prediksi saya sepuluhan tahun lalu�masa ketika akses internet begitu masif, dibarengi ebook/pdf yang bisa diperoleh gratis, sehingga banyak teman saya yang pesimis buku fisik akan tersingkir�karena melihat koran dan majalah tergilas. Meski ada juga cemas-cemasnya saya waktu itu, tapi saya optimis malah bisa terbantu oleh internet dari segi penjualan (padahal waktu itu terbitan Ininawa kami tarik dari toko buku besar di mal dan pasarkan sendiri). Saya tanya sana-sini dan, ternyata, sebagai contoh, teman-teman saya yang belajar di luar negeri hanya memakai ebook sebagai alat membantu membaca dan mencari rujukan yang cepat. Hanya ketika mereka bikin tugas kuliah dan butuh mengutip, mereka mencari kata kunci di ebook/pdfnya. Mereka tetap membaca buku fisik. Dan memang, saya berkali-kali coba baca pdf, mata saya tidak tahan. Berair, seperti mengenang sesuatu hahaha! Teman-teman saya juga bilang begitu (tidak tahan baca pdf). Ya tentu kalau bukunya memang susah dicari terpaksa kita baca pdf ya. Apalagi buku fisik bisa kita baca dengan banyak cara karena praktis, ringan, bisa �diajak� ngopi, atau dibaca sambil tunggu kantuk (bisa cepat tidur� apalagi pakai buku tebal). Keadaan-keadaan yang saya cerita tadi bersambung juga dengan festival (sastra/penulis) dan diskusi dan workshop dunia tulis menulis di banyak tempat, baik berskala besar maupun mikro. Bahkan, tapi ini pengamatan permukaan saja (kalau tidak mau dibilang �perasaan�), malah kian ramai dunia maya kian ramai juga ekosistem dunia literasi. Entah kenapa. Mungkin bacaan-bacaan itu adalah alat bantu kita �bersembunyi� dari hiruk-pikuk dunia maya dan dunia yang fana ini hehehe� ya, itu kita pakai berdialog dengan diri sendiri, belajar tentang banyak hal yang sulit dialami kalau berselancar karena banyak distraksi dll. Selain itu, makin banyak penulis lahir di Indonesia Timur, terutama yang sangat tampak di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTB, dan NTT. Banyak buku sastra dan genre lain terbit, oleh penerbit besar maupun self-publishing. Perpustakaan dan inisiatif membangun perpustakaan juga tidak padam. Bisa lihat inisiatif Pustaka Bergerak yang semangatnya tersebar ke mana-mana. Teman-teman di Sulawesi Selatan masih terus membangun perpustakaan di wilayah masing-masing. Baru-baru ini juga, MIWF (Makassar International Writers Festival) baru saja mendapat penghargaan dari London Book Fair 2020. Saya kira, makin menarik semua perkembangan ekosistem dunia literatur sekarang!

Hal menarik apa yang ada dalam bidang literasi? Lalu, bagaimana menjaga kestabilan berkarya dalam bidang ini?

Yang paling menarik? Literasi itu bisa dikerjakan dari rumah. Bahan-bahannya dari luar; tongkrongan atau ngopi dengan kawan-kawan dan orang-orang baru. Jadi himbauan kerja dari rumah itu baru sih hahahaha� Menjaganya? Saya cuma bisa kasih saran satu: dengan cara menghidupkan perpustakaan. Bisa buat perpustakaan pribadi atau sekalian umum biar bisa ketemu dan berbincang dengan banyak orang tadi. Dengan bertemu, ngobrol, bisa saling memperkaya.

Banyak yang mengatakan bahwa yang membedakan antara penulis yang satu dengan yang lain adalah karakter. Bagaimana cara untuk menentukan karakter itu ke dalam setiap karya tulis?

Menurut saya, karakter itu banyak. Beda-beda tiap orang. Bisa dengan cara menulis (teknis misalnya kalimat, cara pengucapan, dan lainnya) atau sudut pandang bagaimana ia melihat fenomena tertentu, sampai pemihakan. Setiap penulis, setahu saya, menemukan masing-masing karakternya setelah berjalan sekian lama. Tapi tentu juga berdasarkan dari cara dia bekerja, termasuk meneliti.

Hal apa yang menjadi pemicu untuk membuat film Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar?

Film dokumenter sejarah Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar sebenarnya narasi yang saya ambil dari salah satu bab dari buku Rock In Celebes yang masih saya kerjakan tahap akhir sekarang. Itu hasil penelitian selama tiga bulan dan membuka banyak referensi (tulisan dan arsip), tentu juga ditambah dengan literatur yang saya kerjakan sebelumnya, terutama Chambers: Makassar Urban Culture Identity (2013) dan menerjemahkan karya Prof Anderson Sutton Pakkurru Sumange: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan (2012). Awalnya rencana hanya paling lama 10 menit�sekadar gambaran singkat saja dan tidak berambisi membaca sejarah. Tapi temuan-temuan di arsip itu menuntut dan mengharuskan kemudian menjadi seperti itu. Semoga berguna ke banyak orang, biar ingatan kita lebih panjang lagi.

Sebagai penulis dan sutradara, bagaimana anda memandang ekosistem musik di Makassar sekarang?

Pegiat musik Makassar selalu punya harapan, seperti halnya cerita saya tentang dunia sastra dan penulisan pada umumnya. Itu karena akses. Semua orang bisa sekarang. Tinggal seberapa yang mau, seperti Fadly Padi bilang, seberapa besar will power kita. Sekarang, amatan dan hasil obrolan dengan teman-teman selama setahun terakhir, ekosistem musik di Makasar sedang di tahap mempelajari dan berpikir bagaimana tentang manajemen, terutama mengatur diri mereka di dalam band, merintis label. Kita juga banyak festival yang bisa menjadi ruang untuk bertemu dengan pelaku lain, baik sebagai penonton atau sebagai teman. Ada yang berskala besar seperti RIC dan Musik Hutan. Skala menengah dan mikro, ya tentu banyak upaya yang dilakukan oleh teman-teman di radio seperti Madama, yang dilakukan FrontXFamilia awal Maret kemarin, di komunitas baca seperti Kedai Buku Jenny, Kata Kerja, dan Kampung Buku. Sengaja atau tidak, semua itu penting karena menunjang kancah musiknya. Hal besar selalu dibangun dari yang kecil-kecil. Itu belum lagi yang berjejaring entah sampai di mana yang lewat japri hehehe�

Setelah screening perdana di Rock In Celebes 2019 beberapa waktu lalu, bagaimana anda melihat festival musik Rock In Celebes sekarang ini?

Sebelum nonton 2019, rasanya saya terakhir nonton RIC tahun 2013 atau 2014. Jarak lima enam tahun itu rupanya membantu saya membuat perbandingan. Terus terang, saya syok! Pengalamannya sangat berbeda di dua waktu itu. Penontonnya banyak sekali. Antrian mengular di depan pintu masuk. Di dalam apalagi. Tahun 2019 penontonnya banyak sekali. Bahkan kalau pengalaman pertama itu penontonnya banyakan berbaju hitam; RIC 2019 malah sudah berwarna. Banyak penonton perempuan. Yang datang bareng dan beberapa saya lihat jalan sendiri. Ya mereka kelihatannya sangat nyaman. Pengamanan juga saya kira bagus. Berlapis.

Screening sudah dilakukan di berbagai daerah. Bagaimana reaksi penonton sesaat setelah menyimak film dokumenter tersebut? Apa ada yang berkesan?

Banyak sekali yang menarik. Ada teman, mahasiswa di Makassar, mengaku terharu. Katanya sih karena bisa dengar suara-suara dari masa lalu, suara-suara dari beberapa dekade lalu di film itu. Teman-teman lainnya juga mengatakan ya �cemburu� dengan Makassar karena sudah bisa menjawab kalau ditanya soal kapan musik populer di Makassar mulai muncul hahaha… Ya tentu saya tersanjung dan berterima kasih yang besar atas sambutannya teman-teman yang sudah nonton. Ya, memang film itu hanya media bagi saya dan teman-teman di Tanahindie untuk mengumpulkan dan mengantar kembali ke depan teman-teman data-data yang kami peroleh selama proses pengerjaannya. Kalau masih dipandang masih kurang, ya tentu bisa dilengkapi oleh yang lain. Hanya memang, film itu masih dipakai bergaul. Mungkin tahun depan baru kami tayangkan via Youtube. Saya dan tim masih harus �bayar utang� karena kepalang janji putar di beberapa tempat lagi.

Jika disuruh memilih: menjadi sutradara atau penulis?

Hahaha! Syusyah pertanyaannya. Saya tidak bisa memilih. Toh karena �pisau� yang dipakai bekerja kurang lebih sama (semoga sehabis ini saya tidak dikeplang sama para sutradara film). Tapi, kalau ditodong dan disuruh memilih, ya saya ingin menulis saja.

Oh ya, bagaimana tentang Ininnawa? Apakah masih jalan?

Ininawa sebagai komunitas berjalan lancar. Program-program hidup oleh urunan banyak pihak. Khusus Penerbit Ininnawa, ya Alhamdulilah lancar. Beberapa naskah masih antri kami kerjakan�ada yang sedang diedit, ada juga yang masih diterjemahkan. Tapi kami juga harus nabung (dari hasil penjualan) untuk menerbitkan beberapa naskah yang sudah siap terbit.

Apa latar belakang yang membuat lahirnya penerbit ini?

Penerbit Ininnawa berdiri tahun 2004, ditandai dengan terbitnya Warisan Arung Palakka karya Leonard Andaya. Buku ini salah satu contoh dari latar berdirinya Penerbit Ininnawa. Kami ingin membantu menjembatani hasil penelitian tentang Sulawesi yang berbahasa asing ke pembacanya yang berbahasa Indonesia. Meski kami tetap menerbitkan naskah-naskah yang ditulis oleh peneliti dari Indonesia atau Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat karena kami anggap penting untuk disiarkan.

Boleh jelaskan tentang Kampung Buku dan fungsinya bagi masyarakat sekitar?

Kampung Buku jadi tempat belajar menulis, membaca, dan meneliti awak-awak Tanahindie. Sekalian juga kami jadikan ruang arsip untuk kajian antropologi, perkotaan, sampai seni rupa. Juga sekaligus menjadi ruang bersama untuk beberapa institusi seperti Penerbit Ininnawa, Tanahindie, Makassar Biennale, ArtefactDotId, Quiqui (komunitas rajut Makassar), The Ribbing Studio, dan sesekali dipakai teman-teman dari komunitas lain. Untuk kalangan mahasiswa S1 sampai profesor, jadi tempat mencari referensi, terutama yang sedang meneliti Sulawesi atau Indonesia Timur umumnya. Kampung Buku, terutama, jadi tempat alternatif bermain dan membaca untuk anak-anak sepantaran Isobel, anak saya. Dia jadikan perpustakaan itu sekolahnya (karena homeschooling). Kalau bosan main dan berkeliaran di kompleks, dia ajak lagi temannya masuk ke Kampung Buku, mulai membaca dan belajar menggambar, sampai bantu bersih-bersih buku terutama komik, bahkan pernah mereka belajar masak bareng di halaman belakang. Saya kira itu yang jarang terjadi sekarang di perkotaan�apalagi berlangsung organik. Ya, inisiatif dari dia mengajak teman sebayanya. Idenya muncul begitu saja. Hanya memang biasanya dia kabari malam sebelumnya. Jadi saya, Piyo (ibunya), dan teman-teman di Tanahindie bantu fasilitasi saja.

Selain Bunyi Kota, saat ini sedang menjalankan program apa?

Kami masih jalankan kerja-kerja pengarsipan, penerbitan (beberapa buku terjemahan sedang diedit). Ada juga program MemoDapur, inisiatif penelitian perkotaan dengan titik beratnya ke dapur-dapur warga kota. Penelitian sejarah perkampungan kota juga sedang dirancang lagi setelah rampung pilot project Paropo 3S.

Bagaimana melihat keterkaitan antara musik dan literasi?

Mereka saudara kembar. Biasanya kalau kembar itu kan satu sakit, saudara satunya merasakan juga. Karya yang terasa tanggung, bisa jadi karena literasi yang masih kedodoran, perlu diperkuat lagi. Apalagi, kalau musik bagus kawin sama lirik yang baik, siapa yang mau tolak?