Senang rasanya melihat gairah berfestival kembali lagi. Ada kebahagiaan tersendiri jika menyimak poster berseliweran kian ramai di lini masa. Fast-fest-fast-fest atau apapun itu, pertama-tama, apresiasi tertinggi kepada penyelenggara dan timnya yang berhasil menghelat sebuah perayaan, menghibur para pengunjung. Jika musik sudah kembali dipentaskan dari panggung yang sesungguhnya, dan menikmati musik secara langsung telah bisa dari tempat yang seharusnya, maka ada satu hal yang tidak bisa dilupakan dari sebuah festival, gigs, atau konser musik. Mereka adalah binatang buas yang haus akan tarikan adrenalin tingkat tinggi. Mereka adalah jiwa-jiwa muda garda terdepan untuk membuka ruang-ruang di tengah kerumunan untuk moshing. Mereka adalah pengabdi two-steps.
Two-steps adalah salah satu dari sekian banyak gaya yang dilakukan di tengah-tengah mosh pit. Mau dijelaskan apa dan bagaimana cara melakukan two-steps moshing? Yakin punya cukup energi untuk membaca? Oke. Singkatnya, two-steps adalah gerakan yang mengayunkan tangan seirama dengan musik, menggerakan kaki ke depan dan ke belakang secara menyilang. Kurang jelas? Silahkan kunjungi YouTube, dan lihat bagaimana gerakannya. Lalu, apa guna feature ini? Mari, lanjutkan membaca. Tidak semua penikmat konser bisa moshing, dan tidak semua yang bisa moshing mampu melakukan two-steps. Ya, hal ini butuh keterampilan “khusus” yang hanya bisa dipelajari di tengah “medan pertempuran” bersamaan dengan gemuruh suara dan distorsi yang saling beradu. Ada lima hal yang mampu memantik terjadinya sebuah mosh pit. Dilansir dari Hopes&Fears, Paul Wertheimer, pendiri Crowd Management Strategies membeberkan bahwa Lima pemantik tersebut adalah (1) perasaan senang, (2) bentuk komunikasi dengan idola, (3) ritual, (4) bukti kesetaraan, dan (5) tekanan pergaulan.
Gerakan-gerakan ini seakan sudah menjadi hal yang wajib dalam festival atau konser musik yang mendatangkan band-band atau musisi yang cukup lihai mengarahkan agresi penonton. Pertanyaan sempat dilontar ke Instagram. “Apa sih pentingnya moshing atau two-steps dalam event musik” berbagai respon pun bermunculan. Dari Manado, Firman Pakaya mengaku bahwa moshing atau two-steps adalah olahraga senam yang berkedok have fun. Hmm.. SKJ? Senam Keos Jasmani? Ada pula Itto dari FrontxFamilia yang mengaku biar seperti di luar negeri. “(moshing) biar seperti bule-bule ki. Asal jangan becak-becak. Itu fatalitynya Liu Kang” ujarnya. Beda pula dengan Flowgvns yang mengibaratkan two-steps dalam sebuah konser sudah seperti ngudud. “Tanpa tustep (di acara musik), sama halnya seperti sudah makan, nda merokok” ia mengatakan. Sudah makan, merokok, kalau tidak minum Rambo pun bakal tumbang sepersekian detik, bung. Tidak ketinggalan El Musaid, penghuni PinkMic mengatakan “kalo tristep sulit”. Kalau anda sejenis gurita, mungkin tristep bukan hal yang susah. Terakhir, Ade Fahrian justru mengutarakan pengakuan. “Gak tau bang, ra iso tustep-tustepan” ujarnya. Ya sudah, tidak bisa moshing atau two-step, selama tidak “kampungan” di tengah-tengah mereka yang sementara moshing, hidup akan baik saja. Amen?
Semua orang punya caranya sendiri untuk bersenang-senang, dan cara-cara ini tidak semua harus dipahami. Kancah musik Indonesia akan terasa hampa tanpa adanya mereka. Yang bernyali, dan selalu punya gairah berlebih, kadang sedikit berbau lucu-lucu yang tidak bisa ditoleransi, dan penuh tenaga. Mereka adalah para Pengabdi Two-steps. Salut untuk kalian!