Kita sudah sebelas hari memasuki 2023. Tahun yang baru, namun beberapa keresahan dan ‘mimpi buruk’ dari tahun lalu masih ada saja yang membebani. Sebut saja seperti sistem regulasi terbaru yang digadang-gadang ‘membatasi ruang gerak’ masyarakat termasuk seniman dan musisi. Teringat penggalan lirik “Sudahkah merdeka?” milik seringai. Musik berdistorsi dan barisan lirik yang tegas semacam paketan yang sering kali ditemui. Pelaku ‘skena’ paham siapa saja lyricist disegani. Jika dipikir kembali, suara-suara ini tidak akan bisa diredam sampai kapanpun, karena keresahan akan selalu ada dan berlipat ganda. Mengamini “Semua terekam, tak pernah mati” yang ditulis oleh The Upstairs.
Produk hukum yang ‘mengekang’ berikut pasal karetnya tidak akan menjadi penghambat siapapun untuk berkarya. Sejatinya, kebanyakan lagu yang kita konsumsi lahir dari kegelisahan yang tak kunjung menemukan jawabannya. Lagi pula, selalu ada cara untuk menyuarakan hal-hal yang tidak sejalan. Bagaimanapun jalannya, entah berbisik atau sekalian berteriak.
Pada sisi yang lain, menemukan dan menyimak karya terbaru adalah kesenangan tersendiri. Jelas saja, proses menemukan dan ditemukan oleh lagu-lagu ‘asing’ tanpa tahu muaranya akan menyukai atau tidak, membawa sensasi tersendiri. Terlebih, jika proses tersebut dilakukan dalam sebuah festival musik; sambal melihat dan mendengarkan. Hmm.. terdekat adalah Rock In Celebes yang kini menjadi wadah berkumpulnya musisi dan grup musik yang patut disimak lebih lanjut, terlepas dari sekat genre dan kolektifnya. Sebuah festival musik pada dasarnya menjadi milik semua orang tanpa terkecuali.
Ini bukan kabar buruk. Setidaknya kita punya dua tahun lagi dari sekarang sebelum 6 Desember 2025 sebelum KUHP yang baru berlaku efektif. Dalam rentang waktu ini, protes akan terus bergemuruh, dan sekali lagi, suara ini tak bisa diredam.