Adalah kewajiban bagi musisi untuk terus berkarya, menciptakan rilisan-rilisan dengan kualitas yang sudah memiliki standarnya tersendiri, soal bagus atau tidak semua kembali kepada selera masing-masing. Subjektif. Berbicara tentang rilisan, beda zaman, beda pula kebiasaannya. Jika membahas musik era 70 sampai awal 2000-an, pembicaraan masih tentang album. Membandingkan album satu dengan yang lain, karakteristik grup musik di setiap album, dan masih banyak lagi. Sekarang, kondisinya bisa dibilang jauh berbeda. Walau bukan merupakan hal yang baru, merilis Single, EP, atau Demo kini menjadi primadona di seluruh belahan dunia. Ada berbagai alasan kenapa merilis demo musik ini ramai dilakukan hingga menjadi trend. Pertama, produksi yang cenderung sederhana dan cepat.
“Mungkin kebanyakan band di sini (Kota Makassar) materi lagunya sengaja ingin cepat rilis. Makanya patokan ke E.P, atau demo. Terus, mungkin biaya recording yang cukup lumayan biayanya. Belum lagi mengurus untuk rilis secara digital dan promosi yang tidak murah. Makanya yang saya harapkan harusnya banyak record di makassar untuk tangani rilisan band-band di sini biar semua sama-sama jalan.” Ungkap Risal, vokalis dari Front to Fight.
Treatment demo musik juga tidak bisa disepelekan karena “kesederhanaannya”, dengan strategi dan ekskusi yang efektif, demo musik yang “sederhana” ini bisa menjadi senjata promo yang ampuh. Hal yang sama juga terjadi di Manado, di mana demo musik bukan lagi sekadar menjadi bahan promo atau untuk mencari label, namun lebih kepada menjaga nafas eksistensi dan produktivitas.
“Kalo dulu mungkin setauku demo diperuntukan untuk mencari label untuk para talent, juga salah satu cara promo ke media dengan mengirimkan bentuk rilisan demo, namun hari ini (di Kota Manado dan sekitarnya) sepertinya sudah agak bergeser, banyak yang ngga bergantung lagi ke label karena pergeseran-pergeseran, sekarang yang berperan lebih ke digital, dan umumnya hari ini band sudah bikin label mandiri sendiri, sudah ngga bergantung lagi. Untuk budaya dirilisnya demo menjadi EP di kalangan musisi menurutku selain menghemat materi juga menghemat biaya untuk recording yang dikeluarkan oleh musisi, salah satu faktor yang tak kalah menarik adalah menambah catatan discography dari si musisi itu sendiri. Bayangkan jika musisi beberapa kali mengeluarkan EP, jadi lebih berasa produktivitasnya, selain itu juga untuk penggemarnya bisa mendapatkan rilisan berkali-kali jika dirilis secara fisik dan itu menguntungkan si musisi itu sendiri dari segi penjualan.” Ujar Richard Miguel, yang merupakan pegiat di skena musik Kota Manado.
Kedua, regenerasi dan adaptasi yang baik dalam sebuah skena musik merupakan faktor mengapa budaya demo musik ini terus berlanjut. “Menurut saya, untuk di Kota Makassar sendiri, sudah ada kemajuan. Bisa dilihat dari banyaknya band baru yang terbentuk, dan dukungan antar sesama pegiat skena yang selaras dan bergerak maju. Pandanganku soal regenerasi dalam skena dan demo musik yang terus muncul menurut saya tambah bagus. Kenapa? makin banyak yang buat demo lagu atau rilisan album itu sudah menandakan ekosistem, industri musik dan kreatif di kota ini mulai maju dan makin produktif.” Tambah Risal.
“Perkembangan hari ini di skena musik lokal menurutku sudah semakin berkembang, banyak pegiat lama juga yg masih eksis sampai sekarang juga masih produktif, begitu juga regenerasi baru yang terus bermunculan. Explorasi musik juga genre yang dimainkan semakin kaya, banyak yang punya potensi, walaupun mungkin belum banyak terapresiasi ke ranah yang lebih luas. Kendalanya banyak, namun itu sebenarnya challenge untuk pegiat dan penggerak lokal agar putar otak dan gagasan juga membuka wawasan baru untuk terus bergerak agar semuanya bisa terdelivery ke ranah yang lebih luas itu tadi.” Tutur Richard. Jelas, adaptasi adalah kunci.
Selain itu, diselenggarakannya sebuah event atau festival musik juga merupakan pemantik yang baik. Bahkan, bisa jadi, sebulan sebelum digelar, email penyelenggara sudah dibanjiri demo musik. Sebagai salah satu pegiat event di Utara Sulawesi, Richard sadar betul akan hal ini.
“Pergeseran-pergeseran mengirimkan demo juga merambah ke event. Agar mungkin sang kreator event bisa tertarik untuk mengundang band atau talent tersebut untuk dikurasi dan bisa tampil di event menurutku baik, alasan salah satunya sebagai notice ke kreator event bahwa band atau talent tergolong aktif dan punya perhatian khusus ke event walaupun memang ngga selamanya kreator akan melirik. Karena kalau dicermati proses kurasi hari ini, secara umum untuk event skala besar masih dilihat dari jumlah followers di socmed, konten juga jumlah streaming di platform digital dari si band ataupun talent yang akan di ajak utk tampil. Band ataupun talent harus peka juga soal yang namanya branding ataupun personal branding lewat media, dan yang lebih penting dari itu adalah attitude, dan jangan lupa perbanyak wawasan dan gagasan juga jejaring baru agar pangsanya lebih luas lagi.” Kata Richard.
Senada dengan Risal yang juga sekaligus pegiat event di Kota Makassar. “Kalau saya (untuk memilih band untuk tampil) lebih kepada materi lagu yang mereka kirimkan mealui demo. Tidak sampai disitu, dilihat juga bagaimana keseriusan band itu sendiri. Apakah masih aktif atau tidak. Semuanya melalui proses kurasi karena ada dampak yang besar bagi band tersebut. Entah itu positif atau sebaliknya.” Risal menutup.
Semuanya tidak melulu soal apa yang tengah digemari atau banyak dilakukan. Karena pada akhirnya, yang bertahan hanya mereka yang mampu mengeksplorasi, berinovasi, dan beradaptasi. Teringat lagu ‘Only the Strong’ milik Burgerkill. ‘Push that door, destroy the wall. Together we’re looking for direction, set a fire, feel the flame of our desire. We’re never desperate for guidance, our heart screams inside with pride. It’s now or never!’
Teks: Brandon Hilton