Kita semua tahu apa itu merchandise. Hal yang paling melekat adalah merchandise band, mulai dari wujud yang sederhana, yaitu kaos, sampai yang mungkin paling ‘aneh’ adalah merchandise band dalam bentuk saus berlabel Bad Blood yang pernah dijual oleh Bastille, sepaket dengan kaos officialnya. Ada juga band-band yang merilis minuman seperti beer hingga whisky. Nama-nama sekelas Iron Maiden, Motorhead, sampai Slipknot tidak bisa dilewatkan untuk hal ini.
Merchandise band bisa dikatakan sebagai perpanjangan lidah dari album, EP, atau single yang dirilis. Meneruskan ‘pesan’ atau mewujudkannya dengan gambar yang representatif dan kemudian diterjemahkan ke dalam baju. Tapi ada juga yang merilis merchandise karena punya stock gambar yang oke dan mantap-mantap.
Merchandise adalah salah satu media berekspresi bagi band selain lagu-lagu yang dirilis. Tentu saja, band yang merilis merchandise punya kendali penuh atas apa yang hendak dirilis (selama tidak terbentur kendala finansial hehehehe). Seperti apa ‘kebebasan’ merilis merchandise? Coba lihat Motorhead yang bukan hanya merilis minuman, tapi juga merilis sex toys hingga mendiang Lemmy pun ikut terkejut. Bukan hanya sebagai representasi lagu, merchandise juga bisa mewakili attitude band secara keseluruhan. Apa iya? Yaaa bisa saja sebenarnya, tergantung dari bagaimana band menyikapi dan kemudian ‘membungkus’ setiap merchandise yang dirilis entah menggunakan cerita atau dengan berbagai gimmick lainnya.
Semua ditujukan kepada penggemar (dan tak jarang juga reseller) yang sudah menjadi penadah nomor 1 yang siap merogoh kocek agak dalam, apalagi kalau merchandise tersebut dibuat sangat special dan terbatas. Sampai ada istilah “lebih baik menyesal beli, daripada menyesal tidak membeli”.
Merchandise band sendiri bukan hanya sekadar identitas bagi para penikmat musik. Bukan hanya sebagai penanda dukungan semata, dan lebih dari sekadar fashion item yang wajib dimiliki. Merchandise band sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.Tentu dibarengi dengan berbagai macam trik. Ada yang menjual stock baru, ada yang menimbun dulu, ada pula yang membeli lisensi cetak dari si band. Kembali ke bagaimana menjalin komunikasi yang baik. Ahh, belum lagi merchandise band yang tergolong ke dalam kategori ‘vintage’. Harganya bisa dikatakan tidak masuk akal, namun ada-ada saja peminatnya.
Hmmm.. katanya kalau semakin buluk, semakin mahal tapi punya terms % condition tertentu. Kamu sendiri suka yang mana? Merchandise band baru? Atau yang sudah vintage? Dari sini kita bisa melihat bagaimana usaha merchandise band menopang sisi finansial bagi musisi, management (kalau ada), dan reseller (yang tak jarang juga adalah penggemar). Merchandise bukan soal band saja. Festival musik pun punya merchandise dengan kualitas yang sama, dan bahkan untuk beberapa kasus, bahkan “lebih baik” dari merchandise band. Mari tengok rilisan merchandise Rock in Celebes sejenak dan buktikan statement di atas.
Intinya, siapapun yang merilis merchandise, selagi masuk di akal dan keuangan, dukung dengan cara membeli dan membagikan kembali postingan promo di berbagai platform sosial media.
Merchandise is more louder than passion, bigger than fashion.
Teks: Brandon Hilton