Bencana meninggalkan duka yang mendalam bagi siapa saja yang merasakannya. Selain duka, kerugian ekonomi juga tak lepas dari akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Hal-hal di atas turut dirasakan oleh banyak warga yang ada di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong (Sulawesi Tengah) pada bulan September 2018 silam. Kala itu, gempa bumi yang kemudian memicu terjadinya tsunami, likuifaksi dan penurunan muka tanah terjadi di sana.
Tiba di kota Palu selang beberapa hari pasca bencana, kami tahu betul bagaimana kondisi kala itu. Bersama Forum Sudut Pandang dan beberapa komunitas seni kota Palu kami turut membantu menyebar bantuan yang terkumpul. Semangat teman-teman kala itu tidak surut walaupun sebagian besar mereka yang menjadi relawan tidak lain adalah korban. 28 September 2018 adalah waktu yang takkan pernah dilupakan oleh warga kota Palu dan sekitarnya. Pada tanggal tersebut, banyak warga yang pada awalnya bersuka cita dan berkumpul untuk merayakan hari jadi kota tersebut di dalam sebuah acara yang bernama Festival Palu Nomoni, yang selalu digelar di setiap tahunnya. Berlokasi persis di pesisir pantai d kota tersebut, bencana pun terjadi.
Gempa yang tercata memiliki kekuatan 7,2 SR mengguncang Palu dan sekitarannya, tak berhenti di situ saja, 6 menit setelah terjadinya gempa, gelombang pasang Tsunami pun menghajar wilayah pesisir dengan ketinggian gelombang sekitar 5 meter (data dari Saksi Tsunami Palu, Sulteng).
Tahun lalu, dalam rangka memperingati 2 tahun bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, Sigi dan Donggala, UNESCO bersama Forum Sudut Pandang Palu mendokumentasikan kisah saksi hidup dan saksi mata dari kejadian tsunami di Sulawesi Tengah tahun 1927, 1938, 1968, dan 2018. Tiga puluh kisah saksi hidup dan saksi mata telah didokumentasikan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Indian Ocean Tsunami Information Centre dari IOC-UNESCO, Forum Sudut Pandang Palu, Sinekoci, Universitas Tadulako, Museum Sulawesi Tengah dan didukung oleh The Charles Engelhard Foundation.
28 September 2021 tepat tiga tahun sudah bencana besar yang terjadi di Palu dan sekitarnya. Tidak hanya merubah bentuk fisik, tentu saja kejadian ini mempengaruhi psikologi, regulasi pemerintah, pola pembangunan, bahkan pola-pola kerja kreatif komunitas. Seiring waktu berjalan Palu dan sekitarnya perlahan kembali bangkit, tidak hanya dari segi pembangunan, beberapa kelompok seni juga aktif membuat kegiatan serta literasi kebencanaan melalui medium kesenian dengan harapan dapat merawat ingatan kebencanaan pada generasi mendatang.
Masa rekonstruksi mungkin terjadi dalam kurun waktu yang tidak akan cepat apalagi sejak dua tahun belakangan fokus kita terbagi dengan kondisi pandemi COVID-19 yang belum kunjung menemukan titik terang. Semua lini harus bekerja lebih ekstra dari sebelumnya, baik itu para pemangku kebijakan sampai kelompok-kelompok kecil yang memiliki andil dalam pergerakan masyarakat di Sulawesi Tengah.
Dari Rock In Celebes, doa yang paling baik kepada seluruh korban bencana 28 September 2018 dan keluarga yang ditinggalkan, serta harapan yang paling cerah untuk seluruh penyintas. Kami paham betul duka tidak akan hilang secepat itu namun masih banyak hal-hal baik yang pasti akan datang. Mengutip lirik dari trio pop punk kota Palu Cosmogony dalam lagu Mula Memulih “Semua yang hilang akan tergantikan perlahan”.
Teks: Inu Putra