Jika ditanya “Kenapa mau ngeband?” jawabannya sudah pasti beragam dan ajaib. Dimulai dari jawaban “hanya iseng” atau “sekadar hobi” yang paling sering dijumpai. Naik tingkat sedikit, ada jawaban “feel musikalitasnya ketemu”. Biasanya yang begini akan bertahan lama karena saat proses kreatif semuanya berjalan dengan natural. Ada pula jawaban “proyek balas dendam” yang menohok. Saya curiga jangan-jangan ini band bentukan Jason Bourne. Tidak jarang, ada pula jawaban absurd seperti “karena satu frekuensi cara berpikirnya”. Grup musik atau club berpikir? banyak berpikir dan pertimbangan biasanya tidak menghasilkan progress, tidak produktif, berjalan dalam lingkaran yang sama, kemudian bubar teratur. Kalau kamu yang sekarang masih atau pernah ngeband, alasannya kenapa?
Tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan dari merasa gugup saat pertama masuk studio musik. Ini benar terjadi. Demam studio. Biasanya ditandai dengan canggung memegang instrument di studio dan kemudian kemudian disambut dengan moment hening sesaat karena bingung mau ngapain. Good ol’ time! Dari studio, kemudian berangkat ke panggung-panggung kecil akan menimbulkan dua pilihan yang harus diambil; terus membawakan karya orang lain, atau menciptakan lagu sendiri untuk dimainkan.
Kedua pilihan ini bukan tidak punya resiko. Membawakan lagu-lagu yang sudah banyak diketahui orang-orang punya tekanannya sendiri, apalagi lagu sendiri yang tidak diketahui sama sekali. Ditambah lagi, pada 30 Maret 2021, akhirnya Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang merupakan amanat Pasal 35 ayat (3) dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Saya bersyukur Peraturan Pemerintah ini diterbitkan bukan karena saya pencipta lagu ulung atau sejenisnya. Bersyukur karena jadi ada bahan lagi untuk artikel ini. Sesimple itu sebenarnya. Sekarang, pilihan lebih berat kepada menciptakan musik sendiri. Banyak yang lihai membuat lagu berdasarkan teori dan berbagai macam ilmu yang dikuasai, namun lagu tersebut hanya beredar di lingkungan terdekatnya saja. Tidak bisa dipungkiri, ada juga yang merilis lagu hanya untuk teman-teman sepermainan, paling luas teman-teman skena.
Tapi, apa yang menyebabkan lagu yang dirilis tidak menyebar? Tidak berbicara soal bagus atau tidak, karena sebagus apapun lagu yang tercipta, pasti ada saja yang tidak mengetahuinya. Begitu pula sebaliknya. Media memegang peranan penting di sini. Sebagai jembatan agar media mengetahui segala sesuatu tentang sebuah karya yang dirilis, press rilis adalah kunci. Segala macam informasi penting hingga tidak penting perlu dimuat sedetail mungkin. Jika diperhatikan secara seksama di berbagai media sosial dan portal berita digital yang khusus memuat seluk beluk musik, biasanya terkait berita rilisan terbaru, media (kebanyakan) hanya melakukan copy-paste press rilis yang dikirimkan lalu menaikkannya sebagai berita jika press rilisnya memenuhi standart.
Berita rilisan terbaru naik di berbagai platform berita naik, maka pendengar akan bertambah. Semua bermula dari press rilis dan penyampaian informasi yang baik. Bagaimana membuat press rilis yang baik? Cukup menggunakan pedoman 5W + 1H. apa (yang dirilis), siapa (yang merilis), kapan (karya tersebut dirilis), di mana (karya tersebut pertama dirilis), kenapa (karya tersebut kemudian dirilis), bagaimana (pandangan masing-masing persone atau orang terdekat terhadap karya yang dirilis). Jika tidak mau ribet dan ingin memiliki value lebih, maka ajak penulis atau bahkan media untuk terlibat ke dalam press rilis. Jika ingin proses kolaborasi ini berhasil, kuncinya adalah jangan pelit.
Teks: Brandon Hilton