Budaya Minum di Pertunjukan Musik. Penting?

Kita semua sepakat bahwa musik memiliki kekuatan untuk mengumpulkan orang dengan berbagai macam latar belakang tanpa memandang perbedaan. Terutama pada konser musik, ada banyak kegiatan produktif yang bisa dilakukan. Maka dari itu, sangat disayangkan jika datang ke konser musik hanya untuk sekadar menonton grup musik andalan tampil. Kegiatan-kegiatan produktif seperti berjumpa dengan orang-orang baru, melebarkan sayap pertemanan, mempererat lingkar persahabatan dan berjejaring dengan circle-circle baru. Bertukar insight tentang bagaimana kondisi skena musik lintas kota dan daerah, bagi musisi kesempatan ini sering digunakan untuk membuka kolaborasi. Beberapa mencari makan, minum, dan tidak sedikit pula yang minum-minum.

Konser dan alkohol adalah dua hal yang sulit dilepaskan, walau kita paham bahwa mengonsumsi alcohol berlebih punya konsekuensinya sendiri. Meski begitu, ada saja yang selalu membawa “bekal” ini ke konser musik. Jika ditanya untuk apa, ada yang minum terlebih dahulu agar makin enak moshing, biasanya yang begini antara cepat K.O atau jadi biang kerusuhan kalau minumnya kebanyakan. Ada pula yang minum untuk mengusir demam panggung.

Ternyata tidak hanya untuk musisi, ada juga crew band yang demikian. Siapa yang tampil, siapa yang grogi? Hahaha! Tak jarang, ada yang membawa “air dewa” ini untuk membuka pembicaraan dan pertemanan dengan orang-orang baru.

Mari simak lagu-lagu yang menjunjung budaya minum yang dibawakan oleh Seringai dan Sisitipsi misalnya. Budaya ini dilakukan hanya untuk bersenang-senang (tapi tetap tahu batas) apalagi dalam konser musik, tempat banyak orang berkumpul untuk merayakan apapun yang ingin mereka rayakan. Jika kamu termasuk orang yang rajin kesana-kemari, dari satu lingkaran ke lingkaran lain entah itu untuk bertemu teman-teman, say hi, atau hanya sekadar icip-icip apapun yang ada dalam lingkaran, kamu akan menemukan beberapa tipe pengunjung yang senang minum. Pertama adalah Lambung Baja.

Mereka adalah penonton yang minum banyak alkohol dan tetap terlihat sadar (atau pura-pura) sepanjang konser. Kedua adalah Si Modal. Tipe yang seperti ini biasanya mengambil atau menerima minuman apapun. Entah itu ditawarkan atau tidak, yang penting minum. Ketiga adalah Supplier. Mereka ini semacam pesulap; stock minumannya susah habis, tidak tahu ambil darimana. Biasanya, tipe Supplier ini banyak didekati oleh mereka yang Si Modal. Apapun tipenya, kontrol adalah kuncinya. Jangan sampai terlalu mabuk dan jadi perusuh. Bisa fatal akibatnya.

Berteman dengan siapa saja, berjejaring seluas-luasnya. Terlebih dalam sebuah konser musik, segala macam minuman bisa jadi perantaranya. Jika ditanya, minuman seperti apa yang paling enak untuk jadi teman ngobrol, kembali ke selera masing-masing. Air mineral misalnya, soda, bir, wiski, atau katakanlah seperti amer. Pembicaraan yang dibuka dengan minuman beralkohol biasanya akan bermuara kemana saja karena pembahasannya pun pasti tentang apa saja. Ngalor ngidul lah istilah britishnya. Walau begitu, tetap terasa menyenangkan.

Dalam wadah yang bernama festival, konser, atau gig kita semua dipertemukan oleh musik dan berinteraksi dengan atau tanpa minuman (walau lebih sering sebenarnya bersama minuman), sadar atau setengah, yang penting adalah membangun jejaring dan terus update tentang dinamika yang terjadi.Dari lingkaran ini, tidak bisa dipungkiri akan terjadi kolaborasi antara musisi dan artist visual untuk penggarapan album misalnya, atau mempertemukan artist visual dengan pengelola gedung untuk kemudian menciptakan pameran, dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan produktif lain yang bisa terjadi. Jauhkan stigma negative terhadap pecinta alkohol dalam konser, festival, atau gig, dan mari kita sama-sama berharap semoga kondisi ini cepat berlalu. Karena konser online tidak bisa menggeser kenikmatan konser offline. Cheers!

Teks: Brandon Hilton