Siapa yang pernah bergabung atau membentuk sebuah band, pasti paham benar bagaimana senang dan sulit menggabungkan buah-buah pemikiran dari beberapa kepala menjadi satu. Jangankan mereka yang berada dalam band, sepertinya masyarakat awam pun mengerti betapa sulitnya membentuk sebuah band. Pada dasarnya, bermusik dalam sebuah band itu karena menemukan kesenangan sesaat yang sama, konsep pemikiran dan permainan yang saling terhubung, atau yang absurd adalah ‘kenakalan’ yang sefrekuensi. Setiap band yang terbentuk sudah pasti punya beberapa kiblat masing-masing. Kenapa beberapa kiblat? Karena biasanya, setiap orang membawa masuk berbagai macam musik yang disukai lengkap beserta gaya atau ciri khasnya ke dalam bandnya sendiri. Di situlah kesenangan makin bermekaran, memenuhi setiap personel yang bergabung.
Menempuh perjalanan dalam sebuah band adalah tantangan tersendiri. Mulai dari mengumpul dan meleburkan mentahan materi musik, melatihankan materi-materi tersebut di studio, berdebat, marahan ala-ala, ngambek, apa lagi yang biasanya ada dalam band sebelum memutuskan untuk keluar atau bubar? Hahahahaha! Belum lagi masuk ke dalam studio rekaman. Momen paling krusial untuk sebuah band, karena identitasnya terbentuk di sini. Bagi Sebagian orang, berproses dalam studio adalah kegiatan yang sangat menguras tenaga, jiwa, dan tentunya raga, beberapa lainnya tidak punya masalah dengan hal tersebut. Sebagian lagi ‘hanya suka’ ketika tampil di atas panggung, dan ada pula yang ‘sengaja menghindari’ untuk tampil di atas panggung.
Semua dikembalikan lagi kepada niat untuk membentuk band yang kebanyakan memiliki asas tiga huruf satu kata; Fun. Selagi fun, tidak peduli seberapa melelahkan berkegiatan bersama band yang terkesan ‘itu-itu saja’, tidak peduli seberapa dalam kantong yang dirogoh. Nyaris apapun akan dilakukan asalkan fun. Padahal kalau dipikir-pikir kembali, menjalankan band bukan hanya sekedar menciptakan dan memainkan musik. Ada juga mengurus properti atau inventaris band, mengurus merchandise, kontrak kerja bersama brand atau bahkan korporat, dan segudang ‘pekerjaan’ lain yang membutuhkan perlakuan profesional dan serius seperti meng-handle crew, membuat jalannya konten di media sosial secara berkala. Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dilakukan dalam sebuah band dengan treatment “perusahaan”.
Kalau dipikir-pikir, apakah band perlu hal-hal demikian? Apakah perlu menerapkan hal-hal demikian? Ada juga yang bertanya ‘apa tidak berlebihan?’ Kalau jawabannya ‘yaa tergantung tujuan ngebandnya apa. Hanya sekadar saja main band, atau benar-benar serius ngeband’. Sekarang kondisinya ada yang ‘hanya sekadar main band’ akan tetapi band yang dijalankan itu santai tapi serius; penjualan dan kerja sama perilisan merchandise dengan berbagai macam pihak sama-sama jalan. Tidak ada target dengan batasan waktu untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’ tertentu. Rasanya, konsep ‘benar-benar serius’ dan ‘hanya sekadar’ tidak berlaku lagi.
Jika melihat fenomena sekarang, ada berapa banyak band yang terlintas dalam kepala jika menyebutkan ‘band rasa perusahaan’? jelas ada sederet nama band-band besar yang tenar belakangan ini karena pergantian personil yang diikuti dengan begitu banyak kabar dan berita yang ikut di belakangnya. Ada yang mengatakan band rasa perusahaan sudah jelas ‘tidak memikirkan perasaan’, namun band yang ‘hanya sekadar’ pun ada juga yang demikian. Kenapa bisa seperti itu? Semua kembali lagi ke seberapa bagus menjaga perasaan masing-masing personil dan terutama seberapa bagus bagi-baginya. Hehehehe. Band rasa perusahaan atau pertemanan, kalau sudah berbicara tentang perasaan dan uang rasanya selalalu dan terlalu sensitive. Jadi teringat sebaris lirik ‘Berhenti Berdoa’ milik The Hotdogs. ‘Berjalanlah sendiri, jangan percaya lagi apapun yang di luar badanmu’.
Teks: Brandon Hilton