Merchandise Musik dan Ceritanya

Jadi siapa pelopor dari ramainya merchandise musik di zaman sekarang? Mari coba kita telusuri mulai dari Abad Pertengahan dengan sebuah tradisi di mana banyak musisi yang mengembara ke banyak daerah. Biasanya, mereka adalah para penyanyi, biksu yang melarikan diri, atau klerus yang lebih rendah yang berkeliling Eropa, memberikan pertunjukan dan berbagi berita terbaru. Lalu, dalam banyak kisah dan perjalanannya, mereka menyadari bahwa seseorang dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan menjual produk terkait selama tur. Akhirnya, para seniman pengembara ini membuat barang-barang tertentu dan memperkenalkannya kepada para penonton seusai pertunjukan. Ternyata pertunjukan tidak memberi mereka penghasilan yang layak, tetapi penjualan dari barang-barang tersebutlah yang memberi mereka penghasilan. Kedengarannya familiar, bukan?

Namun, merchandise dalam pengertian yang lebih tradisional telah berkembang dengan munculnya T-shirt dan barang lain di tahap berikutnya. Remaja Amerika pada kala itu banyak yang menjadi gila selama periode pasca perang. Karena memiliki tabungan dari orang tua dan banyak waktu luang, generasi baru ini sangat ingin mengganggu para orang tua – mereka mengendarai sepeda motor, mendengarkan rock’n’roll, dan memiliki potongan rambut yang aneh. Tidak mengherankan jika tren kaos bergeser menjadi bagian dari prioritas masyarakat baru yang tumbuh dengan gila-gilanya. Pada 1950-an dan 1960-an, mereka menjadi atribut utama dari sebuah era yang diinformasikan oleh banyak film yang dibintangi oleh Marlon Brando dan James Dean.

Pada tahun 1956, seorang manajer Elvis Presley merasakan tuntutan zaman dan merilis t-shirt bermerek untuk para penggemar penyanyi tersebut, yang mana pada masa itu banyak sekali penggemar Presley yang sangat cinta terhadapnya dan keinginan untuk menjadi modis . Merchandise dan konser yang saling terkait, tentu Saja menjadi daya tarik tersendiri untuk penjualan. Diyakini bahwa tim Elvis, yang pertama kali sangat sukses di dalam industri merchandise ini, dan hal tersebu didapatkan dari para penggemar yang memiliki Uang banyak serta cinta berat dengan sosok Presley. Sejak saat itu, kesalehan industri musik telah tenggelam, sementara mesin perdagangan yang tak berjiwa muncul menggantikannya.

Kampanye sukses pertama diluncurkan oleh Monkees selama tur 1967 mereka. Band ini kemudian mendistribusikan memorabilia bermerek ke seluruh AS. Sementara Elvis dan Monkees puas dengan keuntungan yang didapat dari kaos oblong, The Beatles malah melihat jauh ke depan. Grup ini mengambil alih hati para penggemar dengan meluncurkan penjualan permen, jam tangan, jam weker, kotak makan siang, dan bahkan wig yang mirip dengan rambut milik Ringo Starr. Mereka tidak melewatkan kesempatan sekecil pun untuk terus berpromosi dan menempatkan logo The Beatles pada benda apa pun.

Tingkat ketertarikan dan minat orang-orang dalam inovasi serta teknologi terus berkembang. Langkah selanjutnya adalah penemuan metode heat press, yang sangat memudahkan produksi massal. Dari sana banyak paket dengan kaos dan stiker mulai dijual di mana-mana. Pembeli pun tertarik dengan keterlibatan dalam proses kreatif, di mana mereka bisa membuat pakaian dengan tangan mereka sendiri. Tentunya permintaan sebesar itu menghangatkan potensi dari geliat DIY (Do It Yourself).

Kemungkinan baru untuk ekspresi diri dieksplorasi lebih lanjut oleh Arturo Vega, yang menemani Ramones dalam tur mereka sebagai art director dan menyiapkan tata cahaya serta desain interior apik untuk penampilan band tersebut. Begitu dia membeli T-shirt dan beberapa surat berperekat untuk mengabadikan cintanya pada band, dia menyadari potensi komersial global dari usaha tersebut dan akhirnya merilis sejumlah besar T-shirt, menjualnya masing-masing seharga 3 dolar. Merchandise tersebut terbang melintasi Amerika secara luas. Tanpa disadari, Vega menjadi penulis salah satu desain kaos paling ikonik dalam sejarah.

Gerakan “do it yourself” kemudian menjadi inti karya dari Malcolm McLaren, bapak baptis gerakan punk London, yang membawa Peran suatu merchandi ke tingkat yang sama sekali baru. Bersama dengan rekan setianya, Vivienne Westwood, dia menjalankan butik “Sex” di King’s Road dan bertanggung jawab untuk mempromosikan dan memasarkan band Sex Pistols. Tidak ada yang tidak akan dia lakukan dengan kaus itu. Dia membaliknya, membubuhkan cetakan, merobeknya, dan kemudian menjahit potongan-potongan kain itu kembali. McLaren memberikan wawasan yang berharga kepada semua orang, mengubah barang dagangan konser yang biasa-biasa saja menjadi objek desain.

Di Indonesia sendiri, sejak tumbuh menjadi sebuah industri, musik tidak sekedar rilisan fisik dan juga perihal tampil di sebuah acara. Lebih dari itu, peran merchandise juga sangat penting untuk membangun suatu ekosistem yang kemudian berkembang menjadi jalur penghubung antara musisi dan juga para penggemar. Pun juga, merchandise bisa menjadi mata pencaharian yang sangat menjanjikan bila dijalani dengan sangat serius (tentu saja harus didukung dengan karya musik yang baik). Selain menjadi penghubung antara musisi dan penggemar, merchandise juga dapat menghidupi entitas yang lain. Sebut saja toko rilisan dan merchandise dari band. Di negeri ini, jumlah toko yang berbentuk seperti ini sangatlah banyak. Contohnya ada Omuniuum (Bdg), Extreme Merch (Jkt), Quickening Store (Jkt/Bdg), Venomous Merch (Mks), dan banyak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu-satu di sini.

Setiap harinya, penjualan merchandise yang berbentuk t-shirt bisa dibilang sangat kencang arusnya. Belum lagi bila satu band memiliki banyak bentuk merchandise yang menarik, bisa dibayangkan bukan. Kenapa sih begitu banyak orang senang dengan merchandise musik? Jawabannya bisa jadi adalah faktor jati diri. Banyak orang yang sangat senang dan juga bangga bila bisa menggunakan merchandise dari band idolanya (apalagi kalau barang langka). Bila kita melihat ke beberapa tahun belakangan, bisa dibilang mungkin rilisan fisik (cd/kaset/vinyl) penikmatnya mulai berkurang -tidak menghilang. Tapi beda cerita dengan merchandise, dari barang ini, para penggemar bisa terus memberikan dukungan mereka untuk band tercinta. Bisa dibilang merchandise juga memiliki peran besar sebagai bahan bakar untuk kehidupan berkarya dari banyak musisi.

Jadi, terus dukung musisi idolamu dengan membeli rilisan fisik, merchandise, dan datang di mana mereka tampil.