Awal 2020, sejak pandemi masuk dan menyebarkan bahaya tak kasat mata di Indonesia, industri musik menjadi salah satu bidang yang paling terpukul. Tidak ada lagi kerumunan orang banyak untuk sementara waktu, festival dan konser banyak yang ditunda bahkan batal. Tidak sedikit juga yang mengalami ketidakjelasan apakah diundur atau batal. Salah satu ujung tombak mata pencarian bagi musisi dan wahana hiburan pelepas penat bagi para penggemar ditiadakan. Kondisi makin menyedihkan sekaligus memprihatinkan ketika banyak pula berita kepergian nama-nama besar dalam industri musik akibat pandemi yang beredar luas di lini masa media sosial. Mimpi buruk ini seakan tidak berhenti, dan semoga saja statement ini salah suatu hari nanti.
Tentu tidak mengenakkan jika hanya menyempitkan perhatian pada kondisi yang buruk saja. Tidak menyehatkan dari berbagai aspek. Mari lihat gebrakan-gebrakan yang dibuat mulai dari konser-konser virtual yang diadakan. Berbagai opsi pun dimunculkan mulai dari yang gratis dengan penampil-penampil baru yang belum pernah terlacak seperti ‘Ride in Celebes’ beberapa waktu lalu hingga konser virtual berbayar dengan segudang penawaran yang menggiurkan. Kemudian, ada juga lagu-lagu yang dirilis karena resah dengan situasi pandemic seperti ini. Blink 182 dengan single Quarantine yang dirilis 7 Agustus 2020, dan Deadsquad yang memuntahkan Paranoid Skizoid pada 9 Juli 2021.
Bukan hanya itu, Pearl Jam, salah satu band yang mempopulerkan grunge era 90-an juga merilis album Gigaton pada Januari 2020. Mencari yang terbaru? Jawabannya ada di lagu ‘Eazy Sleazy’ yang merupakan hasil kerja sama antara Mick Jagger (The Rolling Stones) dan Dave Grohl (Foo Fighters). Dua legenda ini memotret bagaimana situasi pandemi ini berlangsung secara global. Dalam lagu tersebut, duo legendaris ini mengangkat cerita mengenai demam tarian TikTok, berkomunikasi secara virtual melalui aplikasi Zoom, hingga sindiran pada teori konspirasi dan orang-orang yang anti terhadap vaksin.
Bisa dilihat bagaimana masa pandemi ini merangsang kreatifitas musisi. Jika dieksplore lebih jauh lagi, ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan musik selama pandemi. Entah itu dengan merilis lagu sebagai respon terhadap situasi terkini, atau kembali untuk menggarap rilisan terbaru. Mencari pencapaian yang tidak biasa dalam masa pandemi? Mari lihat Michelle Zauner atau Japanese Breakfast yang di tahun 2021 ini resmi mendapatkan predikat musisi penulis buku karena rilisnya buku memoar perdana miliknya dengan judul Crying in H Mart. Dalam buku tersebut, ia membahas tentang perubahan yang dialami dalam kesehariannya karena kepergian sang akibat kanker sekitar enam tahun yang lalu.
Sebagai penikmat musik di masa sulit seperti ini apa yang bisa dilakukan? Hal yang paling sederhana yang bisa dilakukan adalah menikmati. Ya, disamping tetap melakukan pekerjaan, menikmati sajian seperti konser daring, atau mengikuti rilisan-rilisan terbaru adalah cara paling efektif untuk menjaga kewarasan. Atau melakukan review format tulisan atau video misalnya.
Bisa dibilang, musik dan pandemi menjadi dua hal yang saling berbenturan, namun di satu sisi punya value tersendiri bagi yang memilliki sudut pandang yang tidak biasa. Melihat situasi sekarang, sebagai pelaku atau penikmat musik, kita masing-masing punya peran untuk saling bantu demi perputaran roda yang stabil dalam industri musik. Saling dukung dan bantu, semoga kita bisa bertemu lagi secepatnya di konser atau festival kesayangan.
Teks: Brandon Hilton