Pentingnya Arsip untuk Masa Depan Bermusikmu

Semua sepakat bagaimana Album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967) menjadi salah satu album milik The Beatles yang dipuji oleh kritikus saat itu, karir solo hingga kisah tragis John Lennon, dan setelah empat dekade bubar, musik The Beatles masih popular dimana-mana. Hal yang sama juga terjadi saat kita membahas tentang Black Sabbath yang menancapkan pondasi awal untuk musik metal dengan menghasilkan rif-riff yang kelam, namun iconic. Karena begitu rapihnya sejarah yang mencatatkan perjalanan kuartet Ozzy Osbourne dkk, hal ini yang membuat Black Sabbath masih menjadi kiblat oleh begitu banyak band metal di seluruh dunia, bahkan setelah mereka memutuskan untuk beristirahat pada 2017 silam.

Mengapa The Beatles dan Black Sabbath yang sudah bubar kemudian masih banyak dibicarakan dan menjadi panutan? Semua karena pengarsipan jejak sejarah yang dilakukan dengan rapi. Kita masih bisa mendengarkan album Black Sabbath tahun 1970 dengan versi remastered, album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band yang sekarang bahkan tersedia dalam tiga edisi; remastered, deluxe edition, dan super deluxe edition. Semua tersedia rapi di seluruh layanan musik dalam jaringan. Bagi pecinta rilisan analog pun masih bisa mendapatkan dan menikmati album-album vintage yang masih diproduksi dengan kondisi baru. Setiap karya yang diarsipkan niscaya akan kekal, sama seperti yang dikatakan The Upstairs, “Semua terekam tak pernah mati”.

Selain mengarsipkan karya dalam bentuk rilisan, salah satu usaha pengarsipan yang tidak kalah penting adalah press rilis. Jembatan yang akan membawa media dan lebih banyak pendengar. Senada dengan yang dikatakan oleh Anwar ‘Jimpe’ Rachman,  “Rilis biasanya dibuat karena ada agenda atau rencana yang mau dilakukan, serta mau diumumkan ke publik. Dengan membuat dan mengirim press release sebenarnya pemusik terbantu oleh pihak lain, terutama media, untuk mengarsipkan apa saja yang akan, sedang dan pernah mereka lakukan.”

Penulis buku Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Chambers Celebes, 2013) ini juga punya pandangan terhadap usaha pengarsipan yang dilakukan teman-teman musisi di Kota Makassar dalam bentuk press rilis. “Kalau soal usaha pengarsipan di kalangan musisi di Kota Makassar secara menyeluruh, kelihatannya belum semua mengirim ke teman-teman. Atau bisa saja mengirim tapi masih terbatas di kalangan yang mereka kenal saja. Tapi ya sudah bagus kalau begitu, tinggal sebar lagi ke kalangan yang belum kenal. Karena rilis ini kan sebenarnya alat bergaul, kita jadi kenal pihak yang dulu ‘asing’, teman-teman pemusik jangan sungkan, kirim saja ke siapa yang dikenal. Nanti minta tolong saja untuk sampaikan ke temannya teman, temannya teman-teman, dan seterusnya. Pro aktif saja perkenalkan diri, pokoknya jangan sungkan!” Pungkasnya.

Pengarsipan dalam bentuk press rilis sebenarnya cukup simple, di dalamnya hanya perlu menggunakan pedoman 5W + 1H, apa (kegiatannya), siapa (yang berkegiatan), kapan (kegiatannya), di mana (kegiatannya), kenapa (buat kegiatan itu), bagaimana (kegiatannya nanti). Semakin banyak rilis yang disebar ke berbagai media, semakin besar pula peluang jembatan bagi pendengar baru untuk menemukan referensi musik yang baru.

Selai press rilis, yang cukup vital dalam urusan pengarsipan adalah dokumentasi entah berbentuk foto atau video. Satu foto dapat menceritakan beragam cerita. Contohnya seperti aksi Paul Simonon membanting gitar bassnya yang diabadikan oleh Pennie Smith kemudian menjadi salah satu foto iconic sepanjang masa sama seperti foto untuk album Dawn of The Black Heart milik Mayhem yang dirilis tahun 1995.

 “Menurutku pengarsipan dalam dokumentasi foto mau pun video sangat penting di zaman digital seperti sekarang, itu bisa menjadi memori yang tak ternilai untuk masa sekarang dan yang akan datang. Dengan memanfaatkan hasil dokumentasi entah itu foto atau video, karya yang disebar pasti lebih menarik dan punya value lebih.” Ungkap Ifan Adhitya yang juga merupakan salah satu pencetus Stage ID Makassar.  “Sudah semestinya juga teman-teman musisi minimal punya fotografer sendiri untuk mendokumentasikan seluruh momen di panggung atau kegiatan di balik layar seperti proses pembuatan album dll.

Resolusi saat berkegiatan (dok. Resolusi)

Selain itu, yang tidak kalah penting juga membuat musik video yang menjadi representasi dari lagu atau bahkan album. Sejatinya, pendokumentasian itu bisa dari mana saja. Banyak yang bisa dilibatkan. Seperti sekarang saya dan teman-teman di Resolusi sedang membuat program Resolusi Stage. Itu juga sarana pendokumentasian pertunjukan musisi Indonesia khususnya Makassar yang di masa pandemi ini hampir tidak punya panggung untuk mempresentasikan karyanya.” Tambahnya.

Tidak ada usaha yang sia-sia, termasuk urusan pengarsipan. Karena semua yang tersimpan akan terkenang.

Teks: Brandon Hilton