Musik, musik, dan musik. Seperti tak ada habisnya bila kita membahas satu entitas ini. Hari ke hari kita selalu disuguhkan banyak sekali suplemen baru, baik itu dari musisi lama maupun yang baru, fenomenanya pun sangat menarik. Tapi permasalahan juga tetap ada dong. Namanya hidup, kalau tidak ada masalah, seperti kurang garam di makanan. Apalagi di tahun 2020 kemarin, makin-makin tuh masalah yang ada semakin besar. Ya seperti yang bisa kita lihat saat ini, semua sedang terpuruk dan mencoba berbagai macam inovasi, pandemi belum kunjung menghilang. Festival tidak ada, gigs tidak ada, semua jadi bingung. Untung ada solusi sementara yang bernama konser virtual, yah walaupun nuansanya berbeda dengan konser biasa, setidaknya bisa mengobati rasa rindumu kepada musisi idola lah.
Bagi musisi sendiri, selain karya musik yang bagus, unik, dan punya ciri khas mencolok, mereka juga perlu untuk tampil. Ya tentu saja fungsinya sebagai penyalur apa yang disukai dan diciptakan tersebut, bertemu dengan sesama penikmat musik, dan berjejaring pastinya. Ya, musik memang sangat menguntungkan bagi banyak pihak, tidak hanya menyoal perihal uang ya, keuntungan dari dunia musik itu banyak bentuknya. Untuk tampil tentunya diperlukan sebuah tempat, mainnya bisa di mana saja.
Berbicara soal gigs, tentu saja kita harus memberikan apresiasi besar kepada orang-orang yang ada dibaliknya. Tanpa mereka, mungkin saja kita bakal kebosanan setengah mati di rumah karena tidak adanya hiburan. Orang-orang dibalik suatu gigs ini jasanya sungguh besar bagi perkembangan industri musik itu sendiri. Kok bisa? Ya kan band-band besar udah pasti diawali main di panggung-panggung gigs lah.
Dalam perkembangannya, gigs selalu mengandalkan etos kerja kolektif, di mana saling membahu adalah modal utama agar semuanya bisa terjadi. Coba saja cek di kotamu, pastinya ada gigs yang sama sekali tidak memberikan bayaran kepada band yang main. Sah-sah saja, asal sebelumnya sudah ada perjanjian di awal. Etos kerja seperti ini sering ditemui di banyak kota, tujuannya hanya satu, agar semua bisa bersenang-senang.
Kalau dulu para pelaku gigs ini hanya mengandalkan kekuatan yang ada di masing-masing kota, zaman sekarang, mereka biasanya saling terkoneksi antar satu kota dan yang lain. Jaringan yang terbangun ini bisa mempermudah akses informasi terhadap perkembangan suatu band. Contoh kita ambil kasus dari tur yang pernah dijalani oleh banyak band di daerah luar pulau Jawa, karena kecanggihan teknologi dan jaringan yang besar, mereka yang ada di luar ini bisa dengan mudah untuk menjalankan tur di Jawa.
Oh ya, pembuat gigs, biasanya mereka ini hanyalah sebuah kelompok kecil yang ingin bersenang-senang sembari mencari uang. Jangan kesel dan merasa aneh kalau melihat kata ‘mencari uang’, toh itu hal yang biasa, yang penting semua senang. Tapi jangan salah, membuat gigs itu tidaklah mudah seperti yang terlihat. Perjalanannya juga sama kompleksnya seperti membuat sebuah festival besar. Ada rancangan konten, penyusunan jadwal acara, pencarian sponsor, hingga negosiasi dengan band, juga harus dilakukan. Musuh terbesar dari para pembuat gigs biasanya sih adalah orang-orang yang memberikan izin keramaian dan juga warga setempat, hehe.
Gelaran gigs mungkin tidak sebanyak dulu. Namun tetap hidup, dikarenakan skenanya yang masih tetap ada. Ibarat jamur, sekecil apapun tapi selalu saja bisa hidup di manapun. Yang menarik, adalah keputusan untuk terus memberlakukan harga tiket masuk ke gelarannya. Membayar tiket adalah kewajaran, tapi di tengah kepungan banyak acara gratis, pahamnya jadi terbalik; Acara yang mengenakan tiket berbayar adalah yang minoritas. Cukup miris memang melihat kondisi yang ada, untungnya para pembuat gigs ini tetap bertahan untuk selalu memberikan hiburan.
Jadi, sudah sepantasnya kita memberikan penghormatan besar kepada mereka-mereka ini yang masih terus bersemangat membuat gigs untuk kita semua. Kapan lagi kan bisa tahu ada band baru yang ternyata sesuai dengan selera musik kita, dan juga gigs selalu punya cerita tersendiri bagi siapa saja yang datang.
Teks: Adjust Purwatama