Tahun 2020 menjadi tahun yang membawa begitu banyak pengalaman dan pembelajaran. Beruntung, kita masih diberkati dengan rilisan-rilisan yang menjadi penghibur lara. Sebut saja nama-nama kelas wahid seperti Mark Morton, gitaris Lamb of God yang merilis EP solonya dengan tajuk “Ether”, Sepultura dengan album “Quadra”, “Splid” milik Kvelertak, sampai Ozzy Osbourne yang melepas “Ordinary Man”.
Tidak ketinggalan “Sejawat” milik Hellcrust, Goodnight Electric dengan “Misteria”, dan Hondo yang merilis “The Hike to Kamadela”. Di tengah situasi pandemi, setidaknya para penggemar musik masih bisa melihat postingan-postingan yang dibagikan melalui sosial media terkait geliat produktivitas yang terjadi walau paham benar harus kehilangan esensi dari rilisnya album-album tersebut; penampilan live. Tidak ada headbang berjamaah, karaoke massal, dan pertukaran energi antara penampil dan penonton.
Ada sedikit angin segar ketika Kapolri saat itu mencabut maklumat nomor MAK/ 2/ III/ 2020 bertanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Dalam maklumat tersebut salah satu yang dilarang adalah membuat keramaian yang melibatkan kerumuman massa. Pada tanggal 25 Juni 2020 Kapolri mengeluarkan surat telegram nomor STR/ 364/ VI / OPS.2./ 2020 sebagai upaya mendukung kenormalan baru. Kemudian disusul dengan adanya Surat Keputusan Bersama Meteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Virus Corona di Bidang kebudayaan dan ekonomi Kreatif beberapa hari kemudian.
Harapan sekelebat berhembus bagi para pelaku kebudayaan dan industri kreatif termasuk musik tentunya. Meski ini juga masih bergantung pada pemangku kebijakan daerah masing-masing dalam memberikan izin.
Dalam rangka adaptasi kebiasaan baru, gebrakan drive-in concert diadakan dengan menerapkan protokol kesehatan meski pada akhirnya banyak menuai kritikan keras dari berbagai kalangan, termasuk musisi. Salah satu yang kemudian menjadi solusi alternative untuk mengakali segala keterbatasan adalah pertunjukan live stream. Dari band pop hingga black metal, semua menyuguhkan konser live stream dengan bermacam gimmick masing-masing. Tetap tanpa kerumunan dan segala sesuatu yang menadi hal penting di dalam sebuah konser, namun adaptasi perlahan berhasil dilakukan.
Tahun 2021, nampaknya masih menjadi tahun yang membuat pecinta konser di seluruh penuru bumi merana. Satu per satu pengumuman reschedule dan bahkan pembatalan konser yang rencananya akan diadakan tahun ini mulai bermunculan. Meski begitu, kita tetap punya cara sendiri untuk menikmati opsi hiburan yang tersedia dengan perangkat audio tambahan jika ada, cemilan, ambil posisi senyaman mungkin, nikmati acaranya.
Adaptasi ini menjadi sebuah “kewajiban” bagi musisi dan penikmat. Kenapa? Pada akhirnya, pertunjukan musik bisa kembali diadakan walau keadaannya tidak seperti biasanya. Hal terpenting lainnya adalah karya-karya yang terus dihasilkan kemudian dirilis. Bersinergi dengan berbagai media, membuka ruang kolaborasi dan interaksi. Ada begitu banyak cara yang efektif dari sekian banyak untuk tetap menjaga semangat satu sama lain.
Bagi penikmat musik keras, jelas banyak kehilangan unsur paling vital dalam sebuah pertunjukan, dan faktanya, semua konser musik pasti harus terkena imbas dari adaptasi kebiasaan baru ini. Bisa jadi, musik keras yang akan sangat merasakan sekali dampaknya. Membayangkan konser yang dipenuhi band-band cadas tanpa moshing atau headbanging, dan harus duduk berjarak saja sudah tidak masuk akal. Dengan situasi seperti ini, kita mampu menemukan cara untuk beradaptasi, dan semoga semua akan ada solusinya.
Karena yang akan bertahan bukan mereka yang kuat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi.
Teks: Brandon Hilton