Merchandise Adalah Kultur.

Kita sudah memasuki tahun 2022 dan sepertinya sudah akrab dengan proses adaptasi kebiasaan-kebiasaan baru yang berubah-ubah begitu cepat. Walau tidak bisa dipungkiri, mungkin sampai hari ini, beberapa dari kita masih terasa aneh dengan situasi dan kondisi yang sepertinya sulit untuk dicerna akal. Boleh disebutkan sendiri apa saja yang berubah, dan yang wajib digaris bawahi adalah menikmati konser. Tidak perlu diperjelas bagaimana perubahannya, kita semua punya cerita pahit, manis, dan kerinduan masing-masing. Namun, jika ingin sedikit melihat kembali betapa merindunya penikmat musik dengan suasana seperti dahulu kala; berkumpul, berpesta, dan bersenang-senang dengan sesama pengunjung tanpa sekat dan ketakutan, bisa baca artikelnya di sini.

Dari sekian banyak hal yang berubah dan terpaksa diubah, ada satu yang rasanya nyaris tidak berubah: Merchandise. Selalu saja menarik membahas yang satu ini. Sebelum lanjut, jika bertanya apakah merchandise itu fashion atau passion, jawabannya bisa jadi kamu temukan di sini. Memang agak sulit memisahkan dan jika dilihat lagi, merchandise sudah menjadi bagian penting untuk urusan fashion. Terlebih dalam konser musik, merchandise band menjadi ‘barang wajib pakai’. Selain menjadi identitas, rupanya, merchandise band juga menjadi medium yang baik untuk memperluas jaringan. Tidak sedikit yang terhubung karena persoalan merchandise band. Ohiya, berbicara merchandise atau rilisan, tidak melulu soal kaos dan grup musik. Festival musik pun banyak yang merilis koleksi menarik untuk digunakan sehari-hari. Mari lihat contohnya seperti Rock in Celebes hehehe. Banyak produk menarik dan menggugah selera yang dirilis, berfungsi untuk kegiatan sehari-hari.

Mari lanjut lagi. Siapa yang sadar kalau akhir-akhir ini merek-merek pakaian mulai dari dalam hingga luar negeri banyak yang ‘mengikuti’ pola merchandise pada umumnya(?) Tulisan berakar, warna yang mencolok, artwork yang tidak jarang cenderung ‘gelap’, tidak sedikit pula yang menyeramkan ala artwork band death metal dan sekitarnya. Hal yang paling umum ditemukan adalah komunikasi visual yang perlakuannya tidak jauh berbeda dengan cara sebuah grup band merilis merchandise. Apakah ini terjadi karena kolaborasi antara brand dan band? Terlalu banyak jika mau disebutkan satu per satu. Katakanlah seperti Slayer dengan Supreme, Vans yang merilis sepatu edisi Bad Brains, Foo Fighters, juga ada DC yang merilis apparel edisi Black Sabbath dan masih banyak lagi. Nama-nama besar ini kemudian menjadikan merchandise sebagai kultur yang tidak bisa didiamkan begitu saja.

Mengapa demikian? pertama, jumlah yang dirilis biasanya sangat terbatas, sehingga pecinta musik atau penggemar fashion ramai menjadikannya sebagai item incaran. Lalu, apa yang terjadi jika didiamkan? hal yang pertama disebut adalah harga jual yang melambung 2 atau bahkan 3 kali lipa dari harga asli, dan beberapa orang masih sanggup untuk merogoh kantong demi mendapatkan rilisan tersebut. Belum lagi jika merchandise itu adalah cetakan pertama yang membuat valuenya melambung tinggi. Ohiya, hampir lupa soal tanda tangan personel bandnya yang juga membuat harga melambung, namun tetap diburu. Layaknya sebuah kultur. Setiap rilisan baru akan memiliki kisah dan sejarah. Nilai historikal ini membuat merchandise menjadi begitu berharga. Berbicara soal nilai historikal, Rock in Celebes masih memiliki merchandise Legacy Collection yang bisa didapatkan di sini atau langsung ke Chambers shop untuk pembelian offline 🙂

Selamat berburu!

Teks oleh: Brandon Hilton